Wacana mengenai tunjangan sertifikasi tambahan bagi guru honorer memang membawa secercah harapan. Namun, di balik potensi angin segar tersebut, pertanyaan mendasar mengenai kapan kesejahteraan guru honorer secara menyeluruh akan menjadi prioritas nyata terus bergema. Sudah bertahun-tahun para pendidik berstatus non-ASN ini mengabdi dengan dedikasi tinggi, namun seringkali luput dari perhatian yang mereka padan dalam hal perlakuan dan jaminan hidup yang layak.
Menurut catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dirilis pada tanggal 28 April 2025, masih banyak guru di berbagai daerah yang menerima upah jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Kondisi ini diperparah dengan minimnya jaminan sosial dan kepastian karir. Meskipun pemerintah telah mengupayakan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), proses rekrutmen dan kuota yang tersedia belum mampu menampung seluruh tenaga pendidik honorer yang ada.
Di tengah diskusi hangat mengenai potensi tunjangan sertifikasi, penting untuk tidak melupakan akar permasalahan utama, yaitu kesejahteraan guru secara holistik. Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Bapak Fakhruddin Anwar, dalam sebuah seminar daring pada hari Kamis, 1 Mei 2025, menyampaikan bahwa tunjangan sertifikasi memang penting, namun bukan satu-satunya solusi. Beliau menekankan perlunya kebijakan yang lebih komprehensif, mencakup peningkatan upah pokok, pemberian tunjangan lain yang relevan, jaminan kesehatan, serta kejelasan status dan jenjang karir.
Lebih lanjut, laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dipublikasikan di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2025, menyoroti disparitas kesejahteraan antara guru ASN dan guru honorer sebagai salah satu isu krusial dalam pemenuhan hak atas pendidikan yang berkualitas. Laporan tersebut merekomendasikan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah afirmatif guna meningkatkan kesejahteraan guru honorer secara bertahap dan berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa guru honorer adalah tulang punggung pendidikan di banyak daerah. Mereka hadir di garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa, seringkali dengan fasilitas dan dukungan yang terbatas. Janji tunjangan sertifikasi tentu disambut baik, namun implementasinya harus transparan dan merata. Lebih dari itu, pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang lebih luas dan terstruktur untuk memastikan bahwa kesejahteraan guru honorer tidak lagi menjadi isu yang terus diperbincangkan tanpa ada perubahan signifikan yang dirasakan langsung oleh mereka. Kapan kesejahteraan guru honorer benar-benar menjadi prioritas yang diwujudkan dalam tindakan nyata? Pertanyaan ini terus menanti jawaban yang konkret.