Ironi Dunia Pendidikan: Saat Pengajar Terlilit Utang Aplikasi Pinjol Tidak Resmi

Sebagai salah satu pilar utama pembangunan bangsa, dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat yang kondusif bagi para pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, sebuah ironi dunia pendidikan mencuat ke permukaan: banyaknya pengajar yang justru terlilit utang aplikasi pinjaman online (pinjol) tidak resmi. Fakta miris ini diungkap oleh survei No Limit Indonesia pada tahun 2021, yang menunjukkan bahwa 42 persen korban pinjol ilegal adalah guru, sebuah persentase yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok lain. Artikel ini akan membahas ironi dunia pendidikan ini, menggali akar permasalahan dan dampaknya.

Penyebab utama dari jeratan pinjol ilegal ini tidak lain adalah kondisi kesejahteraan guru, khususnya guru honorer, yang masih jauh dari layak. Banyak dari mereka hanya menerima upah bulanan sekitar Rp 300.000 atau bahkan kurang. Dengan gaji sekecil itu, sangat sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi di tengah lonjakan harga barang dan jasa. Dana tersebut bahkan mungkin habis hanya untuk membeli pulsa dan listrik.

Kesenjangan ini sangat kontras dengan alokasi dana pendidikan yang besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai contoh, pada tahun 2024, alokasi dana 20 persen dari APBN mencapai lebih dari Rp 660 triliun. Namun, dana besar ini tampaknya belum secara signifikan mengangkat kesejahteraan guru honorer di akar rumput. Belum ada regulasi daerah yang secara tegas mewajibkan sekolah memberikan gaji guru honorer setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) provinsi. Padahal, guru honorer adalah tenaga terdidik dengan ijazah sarjana keguruan.

Faktor lain yang memperparah ironi dunia pendidikan ini adalah rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan guru. Banyak pengajar yang belum sepenuhnya memahami seluk-beluk pinjol ilegal, termasuk risiko bunga yang melambung tinggi, denda yang membengkak, hingga modus operandi penyebaran data pribadi oleh para rentenir digital. Minimnya pemahaman ini membuat mereka mudah tergiur oleh tawaran pinjaman yang tampak mudah dan cepat.

Kasus seorang guru honorer di Semarang pada tahun 2021 menjadi cerminan nyata dari modus jeratan ini. Awalnya meminjam Rp 3,7 juta dari satu aplikasi, utang tersebut membengkak drastis menjadi Rp 209 juta karena aplikasi tersebut ternyata terhubung dengan enam aplikasi pinjol ilegal lainnya. Kisah-kisah tragis serupa banyak terjadi di seluruh pelosok Indonesia, menyoroti bagaimana korban bisa terjebak dalam lingkaran setan utang yang sulit diputus.

Untuk mengatasi ironi dunia pendidikan ini, diperlukan langkah-langkah komprehensif. Peningkatan kesejahteraan guru honorer melalui regulasi yang lebih tegas dan alokasi anggaran yang tepat sasaran adalah prioritas utama. Selain itu, edukasi literasi keuangan yang masif dan berkelanjutan harus digencarkan, tidak hanya bagi guru, tetapi juga masyarakat luas, agar mereka mampu membedakan antara pinjol legal dan ilegal, serta memahami risiko yang menyertainya. Pemerintah dan lembaga terkait perlu bekerja sama untuk memberikan perlindungan dan edukasi yang memadai, sehingga para pahlawan pendidikan ini tidak lagi terjebak dalam jeratan pinjol ilegal.